20 Jam Naik Motor Dari Tolitoli untuk Menghafal 30 Juz

20 Jam Naik Motor Dari Tolitoli untuk Menghafal 30 Juz

16 April 2017 Berita 0

20 Jam Naik Motor Dari Tolitoli untuk Menghafal 30 Juz

Sejak awal tahun 2017, saya sudah banyak mencari informasi tentang menghafal Al Quran. Sambil menabung sedikit demi sedikit saya mengumpulkan biayanya, saya juga terus mencari informasi tempat menghafal Al Qur’an. Yang terpikir dalam benak saya hanyalah, mencari tempat dengan kondisi dan situasi yang mendukung saya untuk hafal Al Qur’an. Alhamdulillah saya akhirnya melakukan perjalanan 20 jam naik motor dari Tolitoli Sulawesi menuju Karantina Tahfizh dan Menghafal 30 Juz, Atas Karunia Allah

Saya harus meninggalkan keluarga (anak dan Istri) untuk sementara waktu, agar bisa lebih maksimal hasilnya nanti. Dari informasi yang saya dapat, ada beberapa program menghafal Al-Qur’an, namun saya terkendala dengan biaya yang cukup besar.

Saya hanya bisa mengumpulkan uang yang cukup untuk transportasi ke luar kota. Akhirnya dengan modal tawakkal, saya berangkat meninggalkan keluarga tercinta. Pamitnya mau ke Pesantren Tahfidz di Jawa, padahal saya belum ada kepastian, pesantren mana yang akan dituju. Karena saya sudah berniat kuat agar saya menghafal Al Qur’an sebelum bulan Ramadhan nanti.

Singkatnya, tepat pada hari Senin 6/3/2017 pada jam 04.00 WITA dini hari, saya berangkat meninggalkan rumah di Tolitoli dengan tujuan Kota Palu Sulawesi Tengah. Dengan mengendarai sepeda motor Honda Win pinjaman dari milik orang tua. Cukup terasa bagi saya dinginnya udara saat itu, hingga satu jam perjalanan dan waktu sholat subuh tiba, saya berhenti di sebuah masjid. Karena sejak berangkat dari rumah sudah berwudhu, ketika masuk masjid langsung sholat sunnat dan sholat subuh sendirian tanpa menunggu jamaah lain. Selesai salam, saya kemasi lagi barang langsung, tancap gas motor supaya perjalanan tidak terlalu beradu dengan terik matahari.

Maklum saja, rute jalan dari Tolitoli menuju Kota Palu nyaris semua melintasi dataran tepi pantai Laut Sulawesi yang terbentang luas sepanjang pulau Celebes. Setelah 4 jam perjalan, saya tiba di kecamatan Soni.

Di sini mampir di sebuah masjid dan numpang istirahat. Dalam peristirahatan tersebut, saya bertemu sambil berbincang dengan pengurus masjid yang ternyata sedang membutuhkan jasa tukang dan instalasi listrik.

Berbekal sedikit pengalaman, saya menawarkan jasa untuk pekerjaan tersebut. Singkatnya, tanpa terasa ternyata sudah 3 hari saya bekerja, dan akhirnya pekerjaan tersebut selesai dengan baik.

Alhamdulillah, dengan upah dari pekerjaan itu, saya bisa simpan untuk tambahan biaya menghafal Al-Qur’an nantinya. Sambil beristirahat di malam harinya, karena lelah bekerja, saya mencoba mencari informasi tentang menghafal Al Qur’an di media internet. Setelah saya coba konfirmasi, sambil memastikan apakah saya bisa mendaftar program menghafal dengan biaya yang pas-pasan.

Berkat izin Allah SWT, tiba-tiba saya dihubungi oleh salah seorang pengurus Karantina Tahfizh, yang menyampaikan bahwa saya bisa ikut program menghafal sebulan, dengan biaya yang saya miliki seadanya. Selang beberapa menit kemudian saya dihubungi kembali oleh pengurus karantinya tahfizh, “Terus pulang nanti gimana biayanya…?” tanpa ragu saya jawab. “Ya, terserah aja pak, ini hp sya bisa dijual, atau apalah nanti, tawakkal aja dulu, itu nanti urusannya. Bagi saya bisa ikut menghafal aja sudah syukur banget.” Setelah itu, saya langsung meyakinkan diri sendiri, ini mungkin tempat menghafal yang sudah ditakdirkan Allah SWT bagi saya.

Segera saya hubungi seorang teman yang biasa beli tiket pesawat. Alhamdulillah, dengan izin Allah, ternyata tiket saya sudah disiapkan terlebih dulu, bahkan sudah ada sebelum saya tiba di kota Palu. Terang saja. hal ini sepertinya menjadi isyarat dari Allah SWT kepada saya untuk lebih dekat menuju kemuliaan hafal Al-Qur’an. Sebagaimana sebelumnya, jam 4.00 WITA dinihari, Saya langsung, start lagi, melanjutkan perjalanan menuju kota palu.

Alhamdulillah tanpa halangan berarti, dalam perjalanan yang memakan waktu lebih dari 8 jam, saya tiba di sebuah pesantren kira-kira beberapa menit sebelum masuk waktu sholat jum’at, dan kebetuan itu hari jum’at.

Dalam hati saya berdoa supaya saya menemukan tempat menghafal yang cocok, dengan atmosfer menghafal Al-Qur’an yang istimimewa. Saya menginginkan itu semua agar saya bisa meraih kemulian menghafal Al Qur’an, dengan bekal doa ini. Akhirnya sesuai schedule pesawat dari kota palu menuju Jakarta pada hari sabtu 11/3/2017, berangkat jam 7.45 dan tiba jam 14.45 WIB.

Alhamdulillah perjalanan lancar, walaupun saya belum sarapan alias lapar. Begitu turun dari pesawat langsung naik bus Damri arah ke Bogor, karena bus sudah siap berangkat. Hingga tiba di stasiun Baranangsiang Bogor. Mumpung masih sore (pikir saya) masih bisa istirahat sejenak. Di depan mata ada yang nawarin siomay, “kebetulan lapar, timing nya tepat, disuguhin makanan khas setempat”.

Baru menikmati makan seadanya ala terminal. Kernet mobil langsung memanggil saya supaya naik mobil segera, “saya langsung tanya, “mau ke arah Cipanas ya…?” “iya, sok, naik, berangkat”. Akhirnya tiba di tempat karantina tahfizh sore menjelang maghrib. Ternyata, setibanya di tempat karantina, saya adalah peserta terakhir alias terlambat.

Sampai disini saya terpikir, “sebenarnya apa hakekat perjalanan singkat ini bagi saya, benarkah saya merencanakannya sebelumnya dengan baik…?”.

Bukankah ini semua atas kehendak Allah SWT dan ketulusan (Ikhlas) seorang hamba terhadap-Nya…?,

Tak seorang pun yang bisa memastikannya kecuali Allah SWT.

Sekedar untuk melakukan esok hari saja, kita dituntun untuk mengatakan “Insya Allah”, (kalau Allah menghendaki).

Jadi, jelaslah sudah, bagi saya KEIKHLASAN adalah segala-galanya untuk meraih keinginan kita sesuai dengan Takdir (Kuasa) dari Allah SWT.

Saat awal program karantina yang sudah dimulai sejak pagi hari, saya yang baru tiba sore harinya, sempat mendapatkan pengaharan oleh seorang psikolog yang didatangkan khusus oleh panitia, supaya peserta karantina berhasil mencapai target 30 juz dalam sebulan. “kira-kira apa anda memiliki permasalahan/problem, sebelum anda berada di tempat karantina ini” begitu pertanyaan sang psikolog kepada saya.

Dengan ringan saya jawab, “Insya Allah saya gak ada masalah atau problem yang mendasar sebelum saya berangkat. Yang terpikir ketika tiba di tempat karantina ini, muncul pikiran, apakah saya mampu /sanggup menghafal Al qur’an selama sebulan”.

Psikolog tersebut tersenyum, sembari mendoakan agar kita semua yang ada disini berhasil menghafal Al-Qur’an, katanya. Beberapa hari proses menghafal Al-Qur’an telah berjalan.

Mulai terasa oleh saya, adanya godaan, ujian, rintangan. Sebut saja sakit kepala (pusing), nyeri di pinggang, batuk. Belum lagi kondisi cuacanya dingin, karena lokasi karantina persis di Desa Ciwalen di balik puncak Gunung Gede, berbatasan dengan puncak Cisarua, Bogor.

Dengan suhu udara di sekitar karantina yang cukup dingin, membuat saya harus berusaha keras menyesuaikan tubuh agar tidak jatuh sakit. Setelah sepekan saya menyetorkan hafalan kepada muhafizh, hampir saja terucap dari mulut saya, untuk izin/pamit. Hal ini karena, rasanya sudah mentok hafalan yang saya miliki. Namun saya coba untuk menahan godaan dan ujian ini sebisa mungkin, menit ke menit, dari jam kepada jam berikutnya, saya berusaha melawan pikiran negatif tersebut. Saya berusaha, dalam doa, “Ya Allah, mungkin karena ada sesuatu yang haram masuk ke tubuh saya, atau mungkin ada dosa lain dari saya, yang membuat Al-Qur’an enggan masuk ke dalam hati saya, sehingga saya sulit untuk menghafalkannya. Engkau pasti tahu apa yang saya inginkan terhadap Al Qur’an….”

Begitu doa yang selalu saya hadirkan kepada Allah SWT. Sambil tambah tahajud lebih dulu dari pada peserta yang lain, sholat duha juga lebih awal, menjaga waktu agar tidak banyak terbuang tanpa membaca Al-Qur’an, saya juga terus menahan keinginan-keinginan lain, selain dari menghafal Al-Qur’an. Pekan kedua saya mencoba menguhubungi seluruh keluarga  agar mendoakan saya selama menghafal Al-Qur’an terutama kepada Ayah dan Bunda tercinta, jelas saja saya hanya meminta satu yaitu saya mohon restu mereka. Keesokan harinya setoran hafalan mulai bertambah hingga saya bisa meyetorkan hafalan sebanyak 33 halaman dalam kondisi tubuh yang cukup sulit beradaptasi.

Demikian seterusnya saya berusaha menjaga setoran hafalan dengan menggunakan “konsenterasi tingkat dewa” kata peserta lain sambil guyonan.

Singkatnya, dengan izin serta ma’unnah dari Allah SWT, pada malam ke-18 saya telah menyetorkan juz 26. Ayat-ayat yang saya hafalkan selanjutnya, sepertinya ada yang membisik dalam pikiran saya “Terus naiklah bersama dengan ayat yang dibaca dan akan semakin mudah bacaan tersebut”.

Inilah yang terus menggirinya saya hingga akhirnya pada hari ke 20, semua ayat sudah saya setorkan kepada muhafizh. Untuk yang kedua kalinya saya masih terpikir, “Sebenarnya apa hakekat proses menghafal sesingkat ini bagi saya, benarkah saya merencanakannya sebelumnya dengan baik…?”.

Bukankah ini semua atas kehendak Allah SWT dan ketulusan (Ikhlas) seorang hamba terhadap-Nya…?, tak seorang pun yang bisa memastikannya kecuali Allah SWT. Sekedar untuk melakukan esok hari saja, kita dituntun untuk mengatakan “Insya Allah”, (kalau Allah menghendaki). Jadi, jelaslah sudah, bagi saya KEIKHLASAN adalah segala-galanya untuk meraih keinginan kita sesuai dengan Takdir (Kuasa) dari Allah SWT.

Kiriman dari Mitra Karantina Tahfizh Al-Qur’an Nasional Yayasan Daarul Hasanah Cianjur Jawa Barat yang menyampaikan asal usul Ustadz Nur Rivan wisudawan 30 Juz dari Tolitoli pekerjaan beliau mengurus masjid dan TPA. Sekaligus imam mesjid. Pekerjaan beliau pagi berkebun, siang sampai sore di masjid.

Insyaa Allah akan sekalian diwisuda di Pusat Yayasan Karantina Tahfizh Al-Qur’an Nasional pada 16 April 2017. Semoga menginspirasi bagi calon peserta yang akan mengikuti karantina tahfizh baik di mitra maupun di pusat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *